Hampir tiga tahun duduk sebagai pimpinan tertinggi
angkatan bersenjata Indonesia, Panglima Laksamana Agus Suhartono menyebut salah
satu pencapaian terbesar TNI saat ini adalah berhasilnya langkah reformasi
internal.
Kepada wartawan BBC Indonesia Dewi Safitri, Panglima TNI
berusia 58 tahun ini menjelaskan bagaimana postur TNI kini makin berubah.
Bagaimana Anda menggambarkan perubahan TNI dan kemampuan
pertahanan Indonesia kini?
Pembangunan kekuatan TNI selalu diorientasiakn pada
pembangunan Kekuatan Pokok Minimal (KPM), programnya sampai 2024. Tapi ternyata
sekarang ada percepatan-percepatan yang sangat menguntungkan TNI, meski harus
diingat membangun alutsista tidak bisa serta-merta, tidak ada senjata ready
stock. 2014 kita harapkan target 40% tercapai dan pada 2019 Minimum Essential
Force sudah tercapai, lebih cepat dari target 2024. Sekarang ini, sudah 30%.
Bagaimana percepatan bisa terjadi?
Karena dua hal: dukungan dana memadai dan perhatian cukup
baik dari pemerintah saat ini. Akibatnya dalam lima tahun ini ada penambahan
anggaran Rp157 triliun, signifikan sekali untuk pembangunan dan modernisasi
alutsista kita.
Apa yang dirasakan TNI sebagai dampak modernisasi
alutsista ini?
Sudah pasti ini membuat level of confidence prajurit
meningkat, alutsista kita baru dan moderen. Lebih dari itu, kita menjadi makin
profesional karena organisasi yang tadinya padat manusia kini mulai bergerak ke
arah padat teknologi. Satu batalion tadinya 900 (personil) sekarang cukup 600,
sejalan dengan komitmen untuk rightsizing. Sampai dengan pencapaian target
kekuatan minimal tercapai, kita akan bertahan dengan kekuatan seperti sekarang
450-an ribu personil. Itu terhitung kecil untuk negara seperti Indonesia,
tetapi dengan alutsista yang moderen itu akan menjadi cukup. Sementara (dampak)
keluar, sekarang kita memiliki deterrence factor lebih besar, posisi tawar kita
jadi lebih tinggi dalam membangun tingkat kepercayaan bersama dengan negara
lain. Rekan-rekan saya di lingkungan ASEAN ini, mereka para panglima angkatan
bersenjata, sangat memperhitungkan kita.
Alutsista sekarang dibeli dari berbagai negara, bagaimana
integrasinya dalam Latihan Gabungan lalu karena sistem operasinya berbeda?
Doktrin memang harus kita sempurnakan, tadinya kita pakai
cara begini sekarang diganti. Tadinya angkat tank dengan tenaga manusia,
sekarang pesawat. Kalau begitu sekarang doktrin harus kita ubah, karena
ternyata alutsista memiliki kemampuan lebih, itu salah satu feedback evaluasi
Latgab. Tidak ada masalah interoperabilitas yang signifikan, tetapi memang
menjadi pelajaran bagian mana yang harus diperbaiki. Kuncinya adalah kita
pahami betul kemampuan alutsista A seperti apa, B bagaimana dan seterusnya,
selanjutnya kita integrasikan.
Alutsista yang sedang hendak dibeli sekarang banyak yang
berstatus bekas pakai dan rekondisi, ada keluhan soal itu?
Asal ditingkatkan daya tempurnya, itu cukup memadai.
Misalnya begini beli baru (F16) Blok32 seharusnya dapat enam dengan usia pakai
sekian tahun. (dibandingkan) Dengan hibah, air frame-nya bagus, peralatannya
kita samakan dengan kecanggihan 32, (menjadi) sama. 10 tahun ke depan Blok32
itu juga sudah akan ketinggalan, artinya sama-sama ketinggalan (dengan yang
bekas pakai). Karena itu pilihan mengambil retrofit, dengan tingkat kecanggihan
yang memadai menjadi tawaran yang menarik, kita pilih itu. Untuk 10 tahun ke
depan ini masih sangat memadai dalam konteks kawasan ASEAN. Toh 10 tahun ke
depan harus diretrofit lagi, beli baru juga harus diretrofit.
Ini bukan alutsista retrofit pertama untuk TNI, bagaimana
pengalaman sebelumnya?
Dalam paket pembelian 39 kapal eks Jerman Timur (yang
sempat menjadi isu kontroversial tahun 1992), saat itu kita tahu lima tahun
sesudahnya kita harus retrofit engine-nya karena memang tidak cocok untuk
Indonesia. Hanya saat itu ekonomi kita kena krisis sehingga program retrofit
terganggu. Tapi selanjutnya secara bertahap tetap kita jalankan, semua kapal
Jerman Timur kita repowering dan sampai sekarang masih jalan bagus. Bahkan
sekarang dalam konteks pembangunan kekuatan pokok minimal, kita tingkatkan
kemampuannya: dulu repowering, sekarang combat management sistem-nya, mungkin
pasang rudal. Intinya alutsista meski sudah lama kalau dipasang peluru kendali
baru, dihitungnya sudah lain kalkulasi tempurnya.
Selain Indonesia, tetangga di ASEAN juga giat membangun
arsenal, dikaitkan dengan konflik Laut Cina, bagaimana posisi TNI?
Kita mendukung code of conduct penyelesaian konflik
dengan damai, negosiasi bilateral. Kepentingan kita menjaga kalau memang ada
konflik, imbas tidak sampai ke wilayah kita. Maka kita perkuat sistem
(pertahanan) di utara, menjaga jangan sampai konfliknya nanti berpengaruh ke
sini. Karena di Laut Natuna ada banyak eksplorasi minyak, kita harus lindungi.
Secara rutin sepanjang tahun kita tugaskan patroli rutin di sana, dari sistem
patroli udara kita pastikan mampu meng-cover wilayah Laut Cina Selatan
khususnya Laut Natuna. Pangkalan kita di Pontianak juga mulai kita arahkan
untuk mampu cover Laut Natuna. Kita juga kerjasama dengan negara tetangga untuk
latihan bersama, jadi kalau ada situasi kita butuh aksi bersama, kita sudah
siap.
Berbagai pencapaian tersebut, apakah buah dari
berhasilnya reformasi TNI?
Memang reformasi internal dalam tubuh TNI (hasilnya)
cukup signifikan. Bagian paling sulit adalah reformasi kultural terkait sifat
prajurit TNI sendiri menghadapi permasalahan-permasalahan yang ada saat ini.
Saya senang bahkan puas, apa yang dirintis dalam reformasi itu memberikan
hasil. Beberapa kasus dalam proses hukum kita sudah jalani sebaik-baiknya,
netralitas berpolitik sangat baik, bisnis kita sudah tidak jalani lagi.
Reformasi jangan diukur dari oh, masih ada anggota TNI melakukan pelanggaran
(seperti kasus Cebongan maupun penyerangan di OKU). Melihatnya begini: kalau
anggota TNI masih melakukan pelanggaran, apa yang dilakukan? Kalau kita respon
sesuai dengan proses hukum, itu artinya reformasi berhasil. Tapi kalau kita
respon dengan melindungi anggota, jangan dihukum, itu reformasi tidak berhasil.
Panglima akan segera meninggalkan jabatan karena masuk
pensiun pada Agustus, apa warisan yang paling krusial dijaga?
Pembangunan Kekuatan Pokok Minimal harus ada konsistensi,
kalau tidak dilanjutkan mustahil apa yang direncanakan tercapai. Kedua,
soliditas antar kekuatan karena tidak mudah menjaga itu karena tiap matra punya
keinginan masing-masing punya kebanggaan masing-masing. Kekuatan kita sangat
tergantung dari soliditas itu, TNI itu ya satu, agar kita punya kekuatan fight
power tinggi.
Tapi itu sangat tergantung pada anggaran dan komitmen
kepala negara sementara kita akan berganti persiden, ada kekhawatiran?
Antara ya dan tidak. Ya, karena kita khawatir kalau
political will tidak mengarah ke situ. (Misalnya) Manakala pembangunan ekonomi
sangat diprioritaskan sehingga mengesampingkan pembangunan pertahanan. Tidak
(khawatir), karena kita yakin pasti akan ada perhatian ke situ, semua negara
pasti akan memperhatikan angkatan bersenjatanya. Tapi saya optimistis siapapun
yang jadi kepala negara akan punya komitmen terhadap pembangunan pertahanan.
Kita beruntung pembangunan kekuatan pertahanan sudah terencana hingga 2024,
muda-mudahan ini diikuti dengan konsisten pada era berikutnya.
Dalam 5-10 tahun mendatang seperti apa postur TNI?
Kita akan mencapai sekitar 70% dari target Kekuatan Pokok
Minimal, TNI akan makin profesional dengan landasan yang sudah ada sekarang.
Juga dalam menyikapi masalah demokrasi juga lebih profesional, soal alutsista
kita sudah punya kemampuan minimal untuk menjaga negara NKRI, posisi tawar yang
berarti dengan negara lain dan kesejahteraan prajurit akan jadi makin baik.
BBC
0 Comments