Setelah nyaris mati suri dalam 15 tahun, modernisasi
peralatan tempur Indonesia kini diklaim berjalan secara progresif.
Hingga habis masa pemerintahan Presiden SBY pada 2014,
ditargetkan modernisasi sudah menjangkau sedikitnya 30% kebutuhan minimum TNI.
"Dengan dinamika yang terjadi sekarang,
(modernisasi) bisa dipercepat," kata Menteri Pertahanan Purnomo
Yusgiantoro.
Ia mencontohkan beberapa rencana yang berjalan justru
lebih cepat dari target.
Pembangunan kekuatan pesawat jet F16 asal Amerika
Serikat, misalnya, dari rencana hanya menambah enam pesawat baru ternyata Klik
justru akan direalisir menjadi 24, meski bekas pakai.
"Ini belum sekarang kita di-offer 10 lagi,"
tambah Purnomo.
Demikian pula Hercules, yang mulanya belum masuk rencana
2013, karena hanya akan diisi dengan pesawat CN295 buatan Airbus Military dan
PTDI, kini akan akan ditambah 10 buah juga bekas pakai dari Australia.
Percepatan sangat mungkin
Dengan 34 pesawat F16 dan 10 Hercules ini, Purnomo yakin
postur kemampuan tempur TNI akan sangat berubah.
"Ditambah dengan yang sudah kita punya saat ini,
kita akan menjadi amat kuat," janjinya dengan menggunakan ebagian
pernyutaannya dalam bahasa Inggris.
Di darat, TNI juga akan berubah dengan tampilan antara
100-130 unit Klik tank Leopard asal Jerman yang sudah lama diidamkan TNI-AD.
Pengamat militer dan pengajar pada jurusan Hubungan
Internasional UI Andi Widjajanto mengatakan klaim Purnomo bukan isapan jempol.
"Saya kira percepatan sangat mungkin. Dalam Latgab
TNI lalu nampak bahwa kekuatan TNI sudah 40%," puji Andi.
Latgab (latihan gabungan) itu dilangsungkan di beberapa
titik termasuk Sangatta di Kaltim dan Situbondo di Jatim.
Presiden Yudhoyono sendiri yang melihat langsung jalannya
operasi, yang disaksikan pula oleh publik melalui komentarnya dalam situs mikro
blog, Twitter.
"Negara kita luas, karenanya kita perlu memiliki
kekuatan militer yang handal dan terlatih," kicau Presiden melalui
@sbYudhoyono.
Titik terendah
Buku Putih Pertahanan Indonesia yang terbit 2008 menyebut
perlunya membangun kekuatan bersenjata dengan terencana.
Target pencapaian minimum essential force (Kekuatan
Pertahanan Minimal, KPM) dirancang tercapai pada 2024.
Itu berarti hingga 11 tahun mendatang, Indonesia harus
dapat menerima kondisi saat ini, yaitu dengan kekuatan tempur yang bahkan di
bawah minimum.
Langkah panjang ini menurut Andi perlu untuk
mengembalikan TNI sebagai kekuatan bersenjata yang disegani di ASEAN maupun di
dalam negeri.
Sejak dibelit krisis moneter tahun 1997, kekuatan ABRI
(saat itu) hampir compang-camping.
"Ke luar pengaruh kita diambil oleh Malaysia dan
Singapura, sedang ke dalam kita terpaksa melepas Timor Timur tahun 1999,"
tambah Andi.
Sebagai kekuatan bersenjata yang menjadikan 'NKRI harga
mati' sebagai acuan dasar, lepasnya Timtim menurut Andi menandai 'titik
terendah TNI' saat itu.
"Praktis (pertahanan) kita tak punya daya tawar sama
sekali."
Kekuatan rendah juga sangat merugikan Indonesia secara
ekonomi.
Dari kasus pencurian ikan di laut perbatasan saja menurut
Kementrian Perikanan menggerogoti potensi pendapatan negara hingga Rp30 triliun
per tahun.
Harap maklum, sampai 2012 Indonesia baru punya 24 kapal
patroli memadai.
"Padahal wilayah maritim kita besar sekali, jadinya
kita diremehkan nelayan asing pencuri ikan," kata anggota Komisi
Pertahanan DPR, TB Hasanuddin.
Interoperabilitas
Pemerintah SBY kemudian menggenjot angka belanja senjata,
yang sampai 2024 diharapkan mencapai titik idealnya, sekitar Rp170 triliun per
tahun atau setara dengan 1,5% dari APBN.
Meski nampak sangat besar, secara persentase angka ini
masih kalah dari total belanja alutsista Singapura dan Malaysia yang berkisar
2-3% dari total PDB.
Meski demikian, menurut Andi Widjajanto bila diteruskan
sesuai rencana, kekuatan pertahanan Indonesia akan menjadi salah satu yang
terbesar di Asia.
"KPM 2024 kalau dibandingkan tahun 2000 itu 5-6 kali
lipat. Itu pun kita saat itu masih menyebutnya minim, baru mau mulai membangun
postur riil," tegasnya.
Tetapi dengan strategi pembelian senjata dari berbagai
negara sekaligus, masalah lain muncul: bagaimana TNI memadupadankan penggunaan
berbagai senjata itu?
Sistem senjata dari satu negara biasanya punya sistem
komunikasinya sendiri, kata TB Hasanuddin, yang sebelumnya sempat berkarir di
TNI selama 25 tahun.
"Kemarin (di arena Latgab) saya lihat prajurit darat
pegang radio untuk pesawat, radio lagi untuk tank, radio untuk lain lagi. Nanti
bisa-bisa dia harus bawa 6-7 radio repot sekali," kata Hasanuddin sambil
tertawa.
Interoperabilitas, atau padu-padan sistem operasi
bersamaan, memang jadi tantangan kata Menhan Purnomo Yusgiantoro.
"Tugas Panglima TNI untuk dapat melihat bagaimana
alutsista itu dapat terkait satu dengan yang lain," kata Purnomo.
Kemampuan memecahkan persoalan ini menurut pengamat
pertahanan CSIS, Iis Gindarsah, akan sangat menentukan masa depan pertahanan
Indonesia.
"Karena TNI sedang bergerak menuju rightsizing,
merampingkan pasukan sesuai kebutuhan," kata Gigin.
"Dengan demikian nantinya pertahanan kita akan lebih
banyak diawaki oleh alutsista yang canggih, dengan personel yang lebih sedikit
tapi mumpuni."
0 Comments