ilustrasi |
Dalam
konsep ATFM (Air Traffic Flow Management), wilayah udara dunia akan dibagi
menjadi 4 pusat pengendalian penerbangan (ATFM Centre) : Eurocontrol,
mengendalikan seluruh penerbangan di Eropa. Berpusat di Brussels dan mulai
dibuka tahun 1996. ATCCC, mengendalikan seluruh penerbangan di Amerika.
Berpusat di Warrenton, VA. Dibuka mulai 2002 sebagai pemgembangan TRACON. ATNS,
menjadi pusat pengendalian penerbangan di seluruh wilayah udara Afrika. Dibuka
sejak 2010 dan berpusat di Johannesburg. Sedangkan untuk Asia Pasifik, saat ini
ada 3 negara sedang bersaing untuk memperebutkan sebagai ATFM Centre, yaitu :
Indonesia, Thailand dan Australia, seperti yang tergambar dalam ATC world map
dibawah ini :
Ancaman
Serius
Persoalan
keamanan udara Indonesia ini tidak dapat dipandang sebelah mata, karena dapat
menimbulkan ancaman serius. Salah satu bentuk ancaman tersebut adalah apabila
asing (Thailand atau Australia) berhasil menjadi ATFM Centre di Asia Pasifik,
maka seluruh penerbangan di wilayah ini akan dikendalikan dari sana, termasuk Indonesia.
Dengan kata lain, apabila pesawat Garuda akan terbang dari Jakarta ke Makassar,
maka dia harus ijin dulu ke Thailand atau Australia. Begitu pula apabila
pesawat TNI-AU akan berpatroli, maka harus ijin kepada Thailand atau Australia.
Dalam
pembuatan skenario dan foresight terkait dengan ancaman ini menggunakan metode
pendekatan Lockwood Analytical Method for Prediction (LAMP) dengan 12 langkah,
maka dapat ditarik kesimpulan yang besar bahwa kekalahan Indonesia dalam
memperebutkan dominasi ATFM akan membuat wilayah udara Indonesia “diambil-alih”
oleh negara lain. Situasi ini serupa dengan diambilnya wilayah udara Batam oleh
Singapura, namun dalam skala yang jauh lebih luas karena menyangkut seluruh
wilayah udara Nusantara.
Bahaya
lainnya jika wilayah Indonesia “dikapling asing” karena Indonesia gagal menjadi
ATFM Center adalah akan banyak maskapai penerbangan swasta dan nasional milik
Indonesia yang akan bangkrut, sebab maskapai penerbangan Indonesia diwajibkan
untuk terbang dengan dibawah upper air space yang akan berdampak pesawat
terbang tersebut akan boros dengan bahan bakar, sebab semakin rendah sebuah
pesawat terbang maka memerlukan bahan bakar/avtur yang besar dibandingkan
dengan pesawat yang mengudara diatas upper air space.
Dengan
begitu dapat dibayangkan multiplier effect yang dihasilkan yaitu maskapai
penerbangan swasta dan nasional di Indonesia kurang kompetitif dibandingkan
maskapai penerbangan asing, yang pada akhirnya mengakibatkan kebangkrutan dan
PHK besar-besaran. Kondisi ekonomi dan sosial ini jelas rawan dipolitisasi oleh
kekuatan asing ataupun komprador asing di dalam negeri untuk “mengais
keuntungan di air yang keruh”
Bagaimana
mencegahnya ?
Salah
satu tugas utama dari badan intelijen di negara manapun juga adalah memberikan
“warning” atau peringatan atas kemungkinan adanya ancaman dan pendadakan
strategis yang datang dari pihak manapun juga. “Warning” itu sendiri dibagi
dalam strategic warning atau peringatan strategis dan tactical warning atau
peringatan taktis. Strategic warning itu sendiri dibagi dalam strategic warning
sebelum dikeluarkannya keputusan/kebijakan dan strategic warning setelah
dilakukan aksi atas kebijakan yang telah dikeluarkannya. “Warning” diperlukan
oleh pembuatan kebijakan atau keputusan secepat dan seakurat mungkin. Sementara
itu, “tactical warning” terkait erat dengan operasional intelijen, namun bukan
merupakan bagian fungsi dari intelijen.
Terkait dengan waktu dikeluarkannya “warning”, maka warning dibagi dalam
imminent (dekat), immediate future (masa langsung), near future (waktu dekat),
soon (segera) dan foreseeable future (masa depan).
Agar
badan intelijen tidak salah dalam memberikan “warning/peringatan”, maka Cynthia
Grabo sebagai penulis buku “Handbook of Warning Intelligence (2010)” yang juga
pernah direkrut Army Intelligence US tahun 1942 ini, menulis bahwa “warning”
bukan merupakan komoditi (karena warning adalah tidak terukur, abstrak, sebuah
teori, sebuah persepsi dan sebuah beliefs), warning juga bukan current
intelligence, warning juga bukan kompilasi dari berbagai fakta, dan warning
juga bukan konsensus mayoritas. Namun warning adalah sebuah upaya penelitian
yang lengkap, warning adalah penilaian atas berbagai probabilitas, warning
adalah penilaian dari pembuat kebijakan, dan warning adalah keyakinan yang
menghasilkan tindakan.
Untuk
membuat sebuah “warning” yang baik, maka sumber-sumber informasi yang terkait
dengan warning tersebut haruslah berasal dari sumber-sumber tertutup, memiliki
nilai akses langsung atau hasil observasi, sangat detail dan spesifik, dan
timeliness.
Persoalan
ancaman keamanan udara diatas, adalah tugas yang harus diselesaikan oleh aparat
intelijen dibantu dengan stake holder di bidang keamanan udara seperti Angkasa
Pura, Kementerian Perhubungan, Kementerian Luar Negeri, TNI khususnya TNI
Angkatan Udara untuk saling bantu membantu memenangkan posisi sebagai ATFM
Center dapat dimenangkan oleh Indonesia, tentunya dengan upaya diplomatik yang
benar, penggalangan yang benar serta pendekatan-pendekatan hukum lainnya.
Kedua pimpinan delegasi sepakat pencapaian yang dihasilkan
dalam sidang pertama itu, dapat menjadi acuan kerja sama maritim kedua negara
di masa datang.
0 Comments