Jika dibandingkan pengembangan pesawat terbang yang sudah dimulai
pada tahun 1903 oleh Wright bersaudara, helikopter memang bisa dikatakan
terlambat karena Igor Sikorsky baru menerbangkan V300nya pada tahun 1939. Beda
halnya dalam urusan militer, karena helikopter menang jauh. Hanya butuh 3 tahun
bagi helikopter untuk diadopsi untuk penggunaan militer oleh Jerman sejak
pengembangannya. Tercatat Jerman memiliki heli Flettner Fl 282 Kolibri yang
digunakan untuk transpor dan observasi.
Namun untuk masalah penggunaan helikopter sebagai mesin tempur ,
sekali lagi Amerika memang harus diakui unggul dalam penerapan konsep ini.
Desain heli tempur sejati, berupa helikopter yang cukup diawaki oleh dua kru
namun mampu membawa persenjataan lengkap untuk menyerang target memang lahir
pertama kali dalam wujud AH-1 Cobra. Walaupun hanya dianggap sebagai solusi
sementara, Cobra ternyata terbukti memiliki peranan signifikan dalam menahan
kampanye Tet Offensive pada tahun 1968 yang berujung pada kehancuran total
pasukan VietCong.
Sebenarnya apa yang membuat helikopter begitu disukai sekaligus
ditakuti? Jawabannya cukup simpel. Helikopter sebagai wahana udara yang
dimanipulasi untuk dapat terbang statik (hovering), memang dapat terbang di
atas target dengan kecepatan rendah, sehingga semua lawan yang ada di bawah
dapat teridentifikasi. Selain itu, helikopter juga memerlukan turning radius
yang sangat kecil, sehingga dapat terus menerus berada di area operasi dan
memaksimalkan penghancuran lawan. Bandingkan dengan pesawat tempur jet atau
baling-baling, yang membutuhkan waktu untuk berputar sehingga keefektifan
penggunaannya untuk serang darat berkurang. Semua ini masih ditambah dengan
suara helikopter tempur yang sangat tenang, sehingga musuh baru bisa mendeteksi
kehadirannya saat maut sudah di ambang pintu.
Jika kita melihat pada heli tempur generasi terakhir AS yaitu
AH-64 Apache, semua persyaratan yang wajib dimiliki sebuah heli tempur sejati
sudah lengkap dimiliki. Kemampuan defensif dan ofensif Apache juga sama
hebatnya, mampu melindungi krunya sekaligus dapat mendeteksi dan menghancurkan
lawan dengan sensor dan persenjataan yang dimilikinya. Keunggulannya juga
dibuktikan dengan keberhasilan heli yang satu ini dalam menghabisi kekuatan
darat Irak dalam Operation Desert Storm. Penggunaan Apache oleh lebih dari 10
negara juga merupakan semacam pengakuan tak resmi atas keunggulan yang
dimilikinya.
Bila berbicara masalah penggunaan, setiap negara memang bebas
menggunakan persenjataan yang dibelinya secara sah. Apache yang sejatinya heli
anti tank ternyata juga dapat digunakan sebagai mesin pembunuh presisi yang
digunakan untuk menghabisi target politik. Secara etis dan politis, tindakan
ini memang dapat dipertanyakan bahkan dikutuk sebagian pihak. Namun terlepas
dari urusan carut marut politik, penggunaan Apache dalam serangan presisi juga
membuktikan bahwa heli yang satu ini memang andal untuk mengisi berbagai peran
yang ditimpakan ke pundaknya.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia sebagai negara yang memiliki banyak hutan dan masih
memiliki potensi low level conflict idealnya juga memiliki heli tempur. Memang,
jika dihadapkan pada argumen bahwa sebagian rakyat Indonesia masih belum bisa
makan tiga kali sehari, pembelian alutsista modern menjadi tidak relevan. Namun
tetap saja, urusan kedaulatan negara adalah satu hal yang benar-benar tidak
boleh ditawar lagi. Walaupun Indonesia tidak bisa membeli AH-64D Apache Longbow
yang harganya 45 juta dolar per buahnya (dua kali lipat Su-27 MKI), toh
setidaknya kita harus bersyukur bahwa Penerbad dapat memperoleh 2 Mi-35P Hind F
dan enam lagi yang menurut berita sudah dipesan. Semoga kita benar-benar punya
kekuatan 1 skadron heli tempur, agar kita siap menghadapi segala kemungkinan.
Toh memang paling baik bila menyediakan payung sebelum hujan bukan?
Profil AH-64 Apache
Pabrik: Hughes/ McDonnell Douglas/ Boeing
Fungsi: Attack Helicopter/ Anti-Tank
Pengguna: AS, Inggris, Belanda, Singapura, Yunani, Mesir, Jepang
Diadopsi Militer: 1986
Kelahiran Apache diwarnai oleh kompetisi ketat dua pabrikan heli
kondang AS, Hughes dan Bell. Saling unjuk gigi, mengadu kemampuan. Memang
inilah jalan sempurna untuk menentukan sang pemenang terbaik.
Sejatinya AD AS justru sudah memulai proyek heli tempur canggih
sejak 1960-an. Dalam prototipe bertajuk AH-56 Cheyenne Gunship lansiran
Lockheed ini, AD AS menginginkan heli tempur kelas berat yang andal. Sayangnya,
teknologi saat itu belum mampu menyediakan avionik yang dianggap cocok mengisi
kokpit Cheyenne. Ditambah dengan perang Vietnam yang meletus, AD AS kemudian
memilih AH-1 HueyCobra buatan Bell yang lebih sederhana sebagai interim
solution. Proyek Cheyenne digudangkan sementara, menunggu teknologi yang tepat
muncul.
Paska perang Vietnam, AD AS justru kehilangan minat atas Cheyenne.
Pelajaran yang dipetik dari Vietnam mengajarkan bahwa heli tempur haruslah
lincah bermanuver dan memiliki proteksi yang memadai untuk melindungi nyawa
penerbangnya yang sangat berharga. Sayangnya, prototipe akhir Cheyenne yang
sudah jadi berukuran besar, kaku dan kurang lincah, sehingga AD AS menginginkan
heli tempur baru yang kecil dan lincah menyelinap di antara pepohonan.
AH-1 Cobra |
AH-1 Cobra sebagai heli incumbent AD AS memang sudah membuktikan
keandalannya pada perang Vietnam, namun masih belum dianggap cukup mumpuni
karena sebenarnya Cobra tidak lebih dari modifikasi ekstrim dari UH-1 Huey yang
notabene adalah heli transpor. Walaupun mampu membawa persenjataan, Cobra tetap
masih harus mengandalkan heli scout atau pasukan darat untuk menemukan
targetnya.
Pada bulan Agustus 1972, AD AS mengeluarkan RFP (Request for
Proposal) bertajuk “Advanced Attack Helicopter (AAH)”. Mengingat nilai
proyeknya yang besar, 5 pabrikan turut serta, namun yang menjadi finalis hanya
2, yaitu Bell dan Hughes. Bell menjagokan YAH-63/Bell 409 yang merupakan
pengembangan lebih lanjut dari Cobra, sementara Hughes mengajukan YAH-64/ Model
97. Bisa dibilang, Bell berada di atas angin, mengingat YAH-63 sendiri adalah
turunan Cobra yang sudah meraih status battle proven. Hughes sendiri bekerja
keroyokan bareng dengan pabrikan Teledyne Ryan, dengan Ryan diserahi membuat
ruang avionik, kokpit dan cowling mesin. Tiap finalis diminta membuat 2
prototipe terbang dan 1 prototipe darat. Uniknya, program AAH ini hanya menguji
platform terbang, sementara tender untuk sensor dan avionik diperebutkan secara
terpisah oleh Northrop dan Martin Marietta.
Prototipe pertama YAH-64 terbang perdana 30 September 1975, satu
hari lebih cepat dari prototipe YAH-63. Prototipe kedua pabrikan menunjukkan
performa yang nyaris sama pada semua aspek yang disyaratkan, sehingga AD AS
sendiri merasa kesulitan untuk menentukan pemenangnya.
YAH-63 |
Atas berbagai pertimbangan di atas, Hughes diumumkan sebagai
pemenang tender tepat pada 10 Desember 1976. Program lanjutan yang disebut
“Phase 2” dimulai untuk membuat prototipe AH-64 yang benar-benar operasional,
dengan pemasangan dan ujicoba avionik buatan Martin Marietta dan ujicoba
peluncuran Hellfire secara langsung dari udara. Setelah puas dengan hasilnya,
AD AS sepakat untuk memesan 11 AH-64A dan 48 opsi pada 26 Maret 1982. Untuk
mengantisipasi order AH-64 ini, Hughes sampai perlu membuat pabrik baru di
kawasan Mesa, Arizona. Pada 30 September 1983, AH-64A pertama roll out dari
pabrik Mesa dalam sebuah upacara yang sangat meriah, menyusul kemudian
penyerahan pertama ke AD AS pada 26 Januari 1984.
Hughes Aircraft
Hughes Aircraft Co. didirikan oleh jutawan eksentrik Howard Hughes
pada tahun 1932, sebagai bagian dari Hughes Tool Company. Berkat pandangan
Hughes yang sangat visioner, sangat banyak proyek-proyek pesawat fantastis yang
lahir dari perusahaan ini, mulai dari pesawat sport H-1 Racer, pesawat amfibi
terbesar di dunia, HH-4 Spruce Goose, MA-1 Fire Control System, sampai rudal
udara-udara AIM-4 Falcon. Petualangan Hughes dalam dunia helikopter sendiri
baru dimulai tahun 1947, dengan pendirian Hughes Tool Company Aircraft
Division. Salah satu proyeknya yang monumental adalah Hughes 500/ OH-6 Cayuse
yang sangat sukses baik di dunia sipil maupun kemiliteran. Sayang, meninggalnya
Howard Hughes menyebabkan perusahaannya kehilangan arah dan nyaris bangkrut.
Walaupun memenangkan kontes AAH, Hughes tidak sempat mencicipi manisnya kontrak
Apache, karena pada tahun 1984 divisi helikopter Hughes diakuisisi oleh Mc
Donnel Douglas (MDD).
Indian Apache
Bisa dibilang suku Indian Apache adalah yang paling terkenal dari
seluruh suku Indian yang tersebar di seantero Amerika. Selain karena
dipopulerkan oleh Karl May lewat karya abadinya Winnetou, suku Apache memang
terkenal karena semangat, taktik, dan keberaniannya dalam menentang para
perintis Amerika. Namun tidak banyak yang tahu, suku Apache sebenarnya terbagi
kedalam 7 sub suku, yaitu Navajo, Western Apache, Chiricahua, Mescalero,
Jicarilla, Lipan, dan Kiowa Apache yang masing-masing memiliki kultur yang berbeda.
Kejayaan suku Apache baru berakhir ketika kepala suku Geronimo berhasil dipaksa
menyerah pada tahun 1886. Sekarang ini suku Apache dipaksa hidup di
daerah-daerah reservasi oleh pemerintah AS yang mengaku champion of human
rights, walaupun tahun-tahun belakangan ini kebijakan itu diperlunak.
Meneruskan tradisi AD AS yang menamakan semua pesawat dan helikopternya dengan
nama suku Indian, tidak salah rasanya bila AH-64 mendapat kehormatan menyandang
nama Apache yang tangguh.
Apache, the Flying Tank
McDonnell Douglas merancang Apache sebagai heli tempur serba bisa.
Tidak hanya menghancurkan musuh, namun Apache juga harus sulit dihancurkan
lawan.
Pengalaman perang Vietnam yang menyaksikan penggelaran heli tempur
oleh AD AS untuk pertama kalinya dalam sejarah memberikan pelajaran yang sangat
berharga bagi AD AS: heli tempur lebih efektif dari jet tempur untuk
menghancurkan target berupa manusia maupun kendaraan. Pelajaran kedua yang
dipetik, heli tempur harus memiliki bentuk yang ramping namun lincah
bermanuver, agar musuh tidak mudah menjatuhkan capung terbang yang satu ini.
Kesimpulannya ada empat sifat yang harus dijadikan pakem dalam merancang sebuah
heli tempur yaitu speed, agility, protection, and firepower.
Ketika AD AS memilih program Apache, apakah keempat pakem di atas
sudah terpenuhi? Indikasi pertama bisa dilihat dari airframe. Seluruh tubuh
Apache terbuat dari logam aluminium yang diperkuat dengan titanium agar mampu
menahan hantaman kaliber 12, 7 mm dari segala sudut, bahkan pabrikan menjamin
beberapa hantaman peluru 23 mm niscaya tidak akan menjatuhkan Apache. Untuk
mengamankan heli yang sering terbang rendah, Apache dilengkapi WSPS (Wire
Strike Protection System) yang terdiri dari enam pemotong kabel dan sebelas
deflektor. WSPS akan memotong halangan ketinggian rendah macam kabel
listrik atau telepon, sehingga Apache
dapat terbang aman dalam ketinggian rendah.
Melongok ke kokpit, Apache memiliki konfigurasi konvensional,
dimana kopilot/ gunner duduk di depan dan pilot di posisi belakang yang lebih
tinggi 49 inci, untuk memberikan bidang pandang yang tidak terhalang. Walaupun
kopilot sebenarnya hanya bertugas mengendalikan senjata, namun ada pula sistem
kontrol cadangan seandainya kontrol pilot gagal. Para pilot Apache juga tidak
perlu menguatirkan keselamatannya, karena kaca kokpit dibuat dari Plexiglass
anti peluru yang dibingkai dengan lapisan boron untuk tambahan perlindungan.
Selain itu, perlindungan bertambah dengan pemasangan lapisan kevlar pada kursi
pilot, yang selain berguna untuk menahan peluru, juga akan menyerap benturan
seandainya Apache mengalami crash. Sistem pendarat juga menggunakan roda dengan
pertimbangan roda dapat berfungsi sebagai bantalan pada saat heli berbenturan
dengan tanah. Semua perlindungan ini terbukti efektif ketika salah satu
prototipe Apache mengalami mati mesin total dan jatuh dari ketinggian 100
meter. Heli jatuh dengan keras, namun kedua pilot sama sekali tidak cedera dan
dapat keluar dari heli tanpa bantuan.
Rahasia kelincahan Apache terletak pada dua mesin General Electric
(GE) T700-GE-701 yang masing-masing berdaya 1265 kW yang terpasang di sisi
kiri-kanan luar fuselage Apache. Rancangan macam ini diyakini mempermudah
perawatan, selain itu, seandainya satu mesin terkena tembakan dan rusak, maka
mesin lainnya tidak akan terpengaruh. Untuk mengurangi ancaman rudal pencari
panas, exhaust mesin dipasangi black hole exhaust supressor yang akan
mengurangi jejak panas dan infra merah. Hebatnya lagi, sistem transmisi mesin
dirancang mampu terbang tanpa oli transmisi selama 1 jam! Hal ini dibuktikan 2
Apache yang diterbangkan Chief Warrant Officer James Hurley dan Keith Hurley
dalam operation Enduring Freedom di Afghanistan. Mengalami kebocoran pada oli
transmisi akibat tembakan DShk 12,7 mm, keduanya masih bisa kembali ke
pangkalan yang berjarak 80 km dengan terbang selama setengah jam. Untuk mengisi
ruang kosong yang ada di antara pod mesin, ditempatkan Garrett GTCP 36
auxillary power unit (APU) sehingga Apache dapat dioperasikan secara mandiri.
Apache memiliki empat bilah baling-baling utama yang terbuat dari
nomex honeycomb dan ditutupi oleh fiberglass, dengan masing-masing bilah
dihubungkan ke rotor dengan lima buah stainless steel spar yang juga memiliki
kemampuan menahan hantaman peluru 12,7
mm. Yang terlihat unik adalah bilah baling-baling ekor berbentuk gunting yang
sudutnya dapat diubah-ubah, yang dipercaya dapat mengurangi suara rotor.
Weapons
Taring utama Apache terletak pada kanon 30 mm dan enam hardpoints
yang terletak pada kedua sayap kecilnya (stub wings). Daya angkut senjata
Apache juga meningkat jauh dibanding pendahulunya. Jika varian mutakhir AH-1Z
Zulu Cobra Cuma bisa membawa empat Hellfire pada tiap sayapnya, Apache mampu
mengangkut delapan Hellfire sekaligus. Kanon M230 memiliki 1200 peluru yang
tersimpan pada kotak magasen dengan posisi di bawah kursi pilot dan terhubung
via sabuk peluru, dan biasanya digunakan untuk menghabisi soft target macam
truk atau manusia. Sementara untuk tank kelas berat dapat dihadapi dengan roket
atau misil Hellfire yang menjadi pasangan abadi Apache. Sementara untuk
perlindungan dari pesawat musuh, Apache dapat dilengkapi FIM-92 ATAS atau AIM-9
Sidewinder pada kedua ujung sayapnya. Dalam keadaan darurat, sayap Apache bahkan
juga dirancang dapat digantungi awak manusia, umpamanya Apache harus membawa
awak atau kru lain yang membutuhkan angkutan darurat.
Sensor & Avionik
Dari semua fitur unggulan yang dimiliki Apache, yang paling
impresif sebenarnya adalah sistem sensor yang dimilikinya. Mata dan telinga
utama Apache terletak pada sensor AN/ASQ-170 TADS (Target Acquisition &
Designation System) dan AN/AAQ-11 PNVS (Pilot's Night Vision System) yang
terletak di hidung Apache. Untuk mudahnya, TADS yang berbentuk drum terpasang
di sisi bawah, sementara PNVS yang berbentuk piringan terpasang di sisi atas.
Ada empat jurus yang dapat dikerahkan TADS, yaitu DVO (Direct View
Optic) yang merupakan teleskop optis, Daylight Television (DT) Camera, FLIR (Forward Looking Infra Red), dan
laser rangefinder/ target designator. Jika FLIR mengambil seluruh jatah sisi
kanan TADS (night side), maka DVO, DT, dan laser rangefinder menempati sisi kiri
(day side). TADS juga dilengkapi fitur auto tracking, artinya, sekali TADS
mengunci target, maka target itu tidak akan bisa melepaskan diri sejauh TADS
dapat berputar. Hebatnya, tabung TADS dapat dirotasikan 120 derajat ke sisi
kiri dan kanan, serta 30 derajat ke atas dan 60 derajat ke bawah. Pergerakan
ini tentu untuk memberikan cakupan pandang yang paling maksimal demi kemudahan
pilot dan gunner untuk mengakuisisi target.
Sensor kedua, AN/AAQ-11 PNVS, merupakan FLIR imager yang
memampukan pilot untuk melihat dalam gelap, memampukan Apache untuk terbang
siang dan malam tanpa halangan. PNVS dapat berotasi 90 derajat ke kiri dan
kanan, sehingga praktis tidak ada sisi yang tidak terlihat, selama Apache terus
melaju ke depan.
Semua kehebatan di atas masih ditunjang lagi dengan sistem IHADSS
(Integrated Helmet And Display Sight System) yang terdiri dari radio, visor
anti cahaya laser, dan HDU (Helmet Display Unit). Semua tampilan sensor TADS
dan PNVS dapat diintegrasikan ke dalam IHADSS, sehingga pergerakan kedua sensor
ini akan mengikuti pergerakan kepala pilot yang menggunakannya dengan selisih
waktu 0 detik, artinya pergerakan bersifat real time. Semua informasi yang
diperoleh sensor akan tertampil seluruhnya dalam HDU, sehingga pilot tidak
perlu lagi sibuk memperhatikan panel instrumen dan tinggal mengunci sasaran
dengan mengandalkan mata, atau istilahnya see and kill. Semua senjata, termasuk
kanon M230 dan Hellfire, dapat digerakkan dan melakukan penguncian via
pergerakan kepala pilot yang menggunakan IHADDS. Jikalau gunner tidak
menggunakan IHADSS, tersedia joystick untuk mengendalikan TADS via display
kecil monokrom yang disebut ORT (Optical Relay Tube), sementara pilot memiliki
layar besar VDU (Video Display Unit) sebagai pengganti display PNVS di luar
IHADSS.
Integrated Helmet And Display Sight System |
VDU for Pilot |
Kelemahan AH-64A
Dengan segenap kecanggihan dan fitur yang terpasang pada Apache,
cukupkah untuk menjadikan Apache sebagai heli tempur yang sempurna? Ternyata
tidak. Ada 3 kelemahan yang berpotensi mengurangi performa maksimal Apache.
Pertama, Apache A sama sekali tidak memiliki radar, sehingga
target yang bisa dikunci dan dihancurkan terbatas kepada jauhnya sensor TADS
yang cuma efektif pada jarak 1-5 kilometer. Artinya, Apache A tidak dapat
mencari sendiri target dan ancaman yang berada di sekitar area operasi, dan
harus bergantung kepada heli scout macam OH-58D Kiowa untuk menemukan target
untuk Apache. Hal ini jelas menjadi berbahaya, karena tidak ada identifikasi target
yang paling mengancam dan hanya bergantung pada keahlian pilot belaka.
Kedua, Apache tidak memiliki INS (Inertial Navigation System),
akibatnya, terbang menyusur kontur bumi (Nap on Earth) menjadi ancaman
seandainya pilot tidak memiliki kecakapan yang cukup untuk melakukannya.
Akibatnya, seperti pada perang teluk II, AH-64A harus dibimbing oleh MH-53J
Pave Low untuk terbang NoE dalam menyerang situs radar Irak.
Ketiga, AH-64A tidak memiliki sistem datalink untuk
mengkoordinasikan serangan AH-64A. Artinya, bisa saja satu sasaran yang sama
bisa dikunci oleh dua atau lebih AH-64A, sehingga membuang-buang amunisi dan
mengurangi keefektifan serangan.
AH-64D Longbow Apache
Untuk mengeliminasi kelemahan ini, AD AS menyetujui tawaran
MCDonnell Douglas untuk mengupgrade AH-64A menjadi AH-64D pada tahun 1997.
Perubahan yang ada meliputi modernisasi kokpit, dengan penambahan dua MFD
(Multi Functions Display) berukuran 15x15 cm pada kedua panel instrumen pilot
dan kopilot untuk memudahkan pengoperasian helikopter, sistem navigasi Plessey
AN/ASN-157 Doppler untuk mengetahui kondisi cuaca, Honeywell AN/APN-209 radar
altimeter, dan yang paling penting, dual GPS-INS system untuk membantu pilot
menerbangkan pesawat dalam pola NoE.
Dari sisi komunikasi, ada penambahan MD-1295A Integrated Data
Modem (IDM) yang dapat merelai data pertempuran dari platform tempur lainnya,
termasuk matra darat seperti MBT M1A1 Abrams dan M2 Bradley. Dengan koordinasi
dengan seluruh kekuatan darat dan udara, konsep network centric warfare akan
terwujud, mengintegrasikan semua kekuatan menjadi satu untuk dengan cepat
menghancurkan musuh dan meminimalisasi friendly fire. Ada pula Hamilton
Standard Data Transfer Module (DTM) dan dual MILSTD-1553B digital avionics
buses (databus) yang memampukan semua data, kondisi pertempuran, misi yang
harus dijalankan, dan berbagai parameter lainnya, untuk diupload dengan mudah
ke dalam helikopter menggunakan komputer, sehingga penyesuaian misi dapat
dilakukan dengan cepat dan mudah. Semua avionik ini memerlukan tempat tambahan,
sehingga bagian “pipi” AH-64D terlihat lebih besar dari AH-64A.
Upgrade berikutnya adalah penambahan sistem Longbow yang terpasang
di atas baling-baling. Di dalam piringan berbentuk bakpau ini terpasang
AN/APG-78 FCR (Fire Control System) dan AN/APR-48A RFI (Radio Frequency
Interferometer) yang diperlukan untuk mengarahkan sistem rudal Hellfire II yang
jauh lebih mumpuni dari Hellfire generasi pertama. Sistem Longbow juga
menawarkan sistem deteksi target segala cuaca, siang dan malam yang jauh lebih
baik dari AH-64A. Bahkan, sistem Longbow dapat melakukan tracking terhadap 12
target secara simultan, dan Hellfire II yang dapat diluncurkan dengan sistem
LOAL (Lock on After Launch) mampu memilih sasarannya sendiri tanpa kemungkinan
pemilihan target yang sama. Tidak hanya sasaran darat, radar Longbow dapat
mengunci sasaran udara untuk rudal ATAS.
AN/APG-78 FCR (Fire Control System) |
Pemasangan Longbow di atas baling-baling memiliki keuntungan
lebih, dimana Apache dapat bersembunyi di kerimbunan pohon sementara radar
Longbow mendeteksi dan mengunci sasaran. Begitu sasaran muncul dan terkunci,
Apache tinggal melakukan manuver hop up, alias melompat keluar dari rimbunan
pepohonan dan menembakkan Hellfire II. Dengan muncul pada detik-detik terakhir,
jaminan penghancuran target tentu akan meningkat drastis. Penambahan lain yang
membuat Apache Longbow makin garang adalah pemasangan sistem Arrowhead yang
menggantikan TADS dan PVNS. Secara tampilan, Arrowhead masih memiliki
konfigurasi yang sama dengan TADS/PNVS, namun menggunakan teknologi sensor
mutakhir berupa CCD camera dengan kemampuan zoom yang dapat memanfaatkan seluruh
kemampuan jarak maksimal Hellfire II.
Tetap saja penuh kekurangan?
Sebagai buatan manusia, sistem AH-64D Apache Longbow yang sudah
dianggap sempurna ternyata masih memiliki beberapa kelemahan yang tidak
diperkirakan sebelumnya. Ternyata pada operasi di dataran tinggi Afghanistan,
Apache Longbow sangat kepayahan walau sudah menggunakan mesin terbaru T700
GE701C. Disinyalir, kelemahan ini diakibatkan baling-baling Apache Longbow yang
berjumlah empat bilah terlalu pendek dan terlalu sedikit untuk memberikan daya
angkat yang cukup, apalagi sayap Apache juga dirancang tidak memberikan daya
angkat. Coba bandingkan dengan saingan terdekatnya, Mi-24 Hind yang memiliki 5
bilah baling-baling dan sayapnya berkontribusi 30% pada daya angkat
keseluruhan. Akibat problem ini, Apache Longbow yang beroperasi di Afghanistan
rata-rata harus melepas radar Longbownya untuk mengurangi beban dan menambah
kelincahan. Selain itu, ternyata Apache rentan tembakan kaliber kecil apabila
beroperasi di perkotaan seperti di Irak. Saat dibuat, pabrikan sepertinya tidak
pernah memperkirakan bahwa Apache harus beroperasi pada ketinggian yang sangat
rendah, sehingga klaim anti tembakan kaliber besar hanya berlaku untuk
ketinggian tinggi....
Masa depan Apache
Walaupun dalam dua tahun terakhir ini reputasi Apache terus
menurun, bukan berarti bahwa AD AS akan memensiunkan Apache dan menggantinya
dengan heli tempur lain. Pembatalan program 1.200 heli RAH-66 Commanche menjadi
bukti bahwa AD AS masih mempercayai Apache. Apalagi, tersiar kabar bahwa dana
yang tersedia akan dipakai membuat AH-64D Apache Longbow III. Memang,
memperbaiki suatu sistem yang sudah diketahui andal memang jauh lebih baik
daripada membeli sistem baru yang pasti butuh bertahun-tahun untuk membiasakan
diri dan menyempurnakannya. Ditambah dengan laris manisnya ekspor Apache ke
negara tetangga, bukan tidak mungkin sampai tahun 2020 kita masih akan terus
mendengar pekik perangnya.
AH-64A vs AH-64D
Dilihat sepintas, AH-64D Apache Longbow hanya memiliki sedikit
perbedaan dengan kakaknya AH-64A. Namun, bagaimana perbedaan kemampuan yang
sebenarnya? Saat diadakan tes komparatif di Fort Hunter-Liggett, California
pada musim semi 1995 antara prototype AH-64D Apache Longbow versus AH-64A,
AH-64D menang mutlak dari AH-64A. AH-64A Cuma berhasil menghancurkan 75 target
dengan korban 28 Apache dan 34 korban friendly fire. Sementara, AH-64D mencatat
hasil yang lebih spektakuler, menghancurkan 300 target lawan dengan korban
hanya 4 Apache tanpa perlu jatuh korban akibat friendly fire.
GE T700
Kalau ada pertanyaan, apa persamaan AH-64 Apache, UH-60 Blackhawk
dan CN235 buatan PTDI, orang pasti garuk-garuk kepala. Jawabannya baru
diperoleh ketika kita melongok ke jeroan mesin. Memang, baik AH-64 dan UH-60
sama-sama memakai mesin turboshaft GE T700, sementara CN235 memakai CT7, varian
turboprop uprated GE T700. T700 sendiri dikembangkan pada awal 1973 dan mulai
diproduksi pada 1978. AD AS yang tadinya mematok T700 untuk UH-60, ternyata
juga memasang mesin yang sama untuk Apache. Alasannya apa lagi kalau bukan kemudahan
perawatan dan tukar-menukar suku cadang di lapangan. Karena kualitas dan
kinerjanya yang jempolan, mesin ini juga mentenagai banyak helicopter, mulai
dari Kaman SH-2G Super Seasprite, Bell AH-1W Supercobra, Bell214ST,
AgustaWestland EH101, dan NHI NH90.
Marine Apache
Selain AD AS, sebenarnya Korp Marinir AS pun sangat menginginkan
Apache, bahkan McDonnel Douglas sempat menawarkan varian Marine Apache. Varian
maritim ini mengalami banyak perubahan yang meliputi lapisan anti korosi,
refueling probe, kemampuan membawa BGM-71 TOW, roket Zuni 12,7 mm, sampai rudal
udara-udara Sidewinder dan varian Sidewinder anti radar missiles (SideARM).
Kalau melihat kemampuannya, jelas Marine Apache lebih hebat dari Apache
Angkatan darat. Sayangnya, seperti kasus-kasus yang sudah terjadi, Korp Marinir
AS selalu mendapatkan pendanaan dengan jumlah terkecil dari keempat angkatan
dalam tubuh AB AS. Ini berarti Korp Marinir harus mengucapkan selamat tinggal
pada Marine Apache.
Apache’s Interesting Facts
Roda utama Apache dapat dipendekkan dan rotornya juga bisa dilepas
apabila Apache diangkut menggunakan pesawat transport sekelas C-5 Galaxy atau
C-17 Globemaster III
Apache memiliki toleransi g dari +3 sampai -2 gees, kemampuan
pitch sampai 30o dan roll sampai 60o
Ada 277 AH-64A yang terlibat dalam Operation Desert Storm, total
menghabisi 500 lebih target darat di Irak
Tim Hunter-Killer OH-58D Kiowa Warrior (Hunter) dan AH-64A Apache
(Killer) dikenal sebagai red team dalam terminologi AD AS, karena kedua heli
sama-sama bersenjata berat.
Walaupun Longbow system dalam AH-64D Apache Longbow dapat
menentukan target mana yang paling mengancam secara otomatis, kebanyakan pilot
membypass kemampuan ini dan memilih insting manual. Never trust a computer
Setengah dari AH-64D Apache Longbow milik AD AS dilengkapi airbag
seperti pada mobil untuk meningkatkan keselamatan pilot saat terjadi crash
AD AS memiliki 821 AH-64A yang skemudian diupgrade menjadi standar
AH-64D, sementara penjualan ekspor mencatat angka 300 unit. Ini berarti ada
1.100 lebih Apache yang terbang di seluruh dunia
Israel memperoleh hadiah 24 AH-64D eks AD AS pada tahun 1993 atas
jasanya untuk tidak ikut campur saat perang teluk II terjadi.
Apache dalam jajaran IDF diberi julukan “Petan” alias Cobra. Hal
ini tentu membingungkan, karena Israel juga mengoperasikan AH-1S Cobra.
Untuk melatih prosedur pendaratan terbang malam, pilot-pilot
AH-64A justru dilatih dengan AH-1W Cobra yang seluruh kacanya dicat hitam.
AH-64 Apache Full Specifications (A model):
1.
Tahun Dinas
Aktif : 1986
2.
Bobot
kosong: 5,165 ton
3.
MTOW: 9,5
ton
4.
Panjang:
17,73 meter
5.
Tinggi: 3,87
meter
6.
Diameter
rotor: 14,63 meter
7.
Propulsi: 2
mesin GE T700 berdaya masing-masing 1690 hp
8.
Kecepatan:
maks 158 knot, 143 knot (kecepatan jelajah)
9.
Rate of
climb: 12,7 m/detik
10. Jarak Jelajah: 1.900 km (ferry
range, with ext. tank)/ 480 km (combat radius)
11. Awak: 2, pilot dan
co-pilot/Gunner
12. Persenjataan: 1 x M230 30 mm
Chain Gun, AGM-114 Hellfire, Hydra 70, ATAS, APKWS
13. Pertahanan pasif: M130 chaff
dispensers, AN/ALQ-144 “disco light”, AN/APR-39A(V)1 RWR
Berikut adalah daftar spesifikasi persenjataan maut yang bisa
dibawa oleh Apache, lengkap dengan kemampuan yang dimiliki:
M230 30 mm Chain Gun
·
Pabrik :
Hughes
·
Jarak max :
6 km
·
Jumlah mags:
1200 rounds (max.)
·
Rate of
fire: 80 peluru/ menit
·
Fire mode :
Single shot/ salvo
·
Berat : 55,9
kg (seluruh sistem)
·
Sensor :
Dikendalikan IHADSS
Untuk anti
personel dan soft target, M230 jawabannya. Dengan sistem yang sederhana dan
andal, M230 juga memiliki reaksi yang sangat cepat, sama persis dengan arah
pergerakan pilot yang menggunakan IHADSS. Walaupun kalibernya kecil, jangan
salah. BMP-1 dan 2 banyak yang jadi korban oleh amunisi HEDP (High Explosives
Dual Purpose) yang bisa dibawanya.
AGM-114 Hellfire
·
Pabrik :
Lockheed Martin
·
Jarak max :
8 km/ 9 km (K)
·
Jumlah mags:
16 misil (max.)
·
Max speed :
1530 km/jam
·
Fire mode :
LOAL/LOBL
·
Berat : 45
kg
·
Sensor :
Semi Active Laser Homing
Misil Hellfire (Heli Launched Fire and Forget) dikembangkan
bersamaan dengan proyek AAH yang akhirnya melahirkan AH-64 Apache. Setelah
diketahui andal untuk menghancurkan tank dalam Desert Storm, pengembangan
lanjutan terus dilakukan sampai versi terakhir Hellfire II yang memiliki dual
warhead.
Hydra 70
Rocket
·
Pabrik : BEI
·
Jarak max :
5,5 km
·
Jumlah mags:
76 roket (max.)
·
Max speed :
-
·
Warhead :
HE, WP, Smoke, AP
·
Fire mode :
Single shot/ salvo
·
Berat : 35,9
kg
·
Sensor :
pisir optik
Hydra 70 adalah nama keluarga roket 2,75 inci FFAR (Fin Folded
Aerial Rocket) yang dikembangkan oleh AL AS sejak 1940-an. Hydra 70 sangat
efektif dalam menghantam target berupa kendaraan lapis baja ringan dan bunker,
dengan biaya yabg relatif murah. Di Apache, Hydra 70 dibawa dengan subsistem tabung
roket M261 yang mampu menyimpan 19 roket per tabung. Patut dicatat, apabila
terpasang pada sisi dalam sayap, penembakan Hydra tidak boleh dilakukan secara
salvo, karena rocket blastnya dapat membuat mesin overheat.
APKWS
·
Pabrik : BEI
·
Jarak max :
5,5 km
·
Max speed :
-
·
Warhead :
HE, WP, Smoke, AP
·
Fire mode :
-
·
Berat : 35,9
kg
·
Sensor :
laser
APKWS (Advanced Precision Kill Weapon System) adalah proyek
senjata yang dikembangkan AD AS untuk mengisi celah antara Hellfire dan Hydra
70. APKWS memanfaatkan roket Hydra 70 yang dimodifikasi dengan laser
designation system yang sama dengan Hellfire. APKWS pun sudah diujicoba oleh
Apache sejak tahun anggaran 2002.
FIM-92 ATAS
·
Pabrik :
Raytheon
·
Jarak max :
8 km
·
Jumlah mags:
4 misil (max)
·
Max speed :
Mach 2,2
·
Warhead : HE
Blast fragmentation
·
Sensor :
Passive IR
ATAS (Air to Air Stinger) merupakan modifikasi rudal panggul anti
pesawat FIM-92A Stinger Block II yang terkenal. Tiap sayap Apache dapat membawa
sepasang ATAS di ujungnya, memberikan Apache kemampuan pertahanan diri dari
serangan pesawat lawan. Walaupun dikritik karena hulu ledaknya terlalu kecil
untuk menghancurkan pesawat tempur besar, ATAS memiliki keunggulan berupa jejak
asap yang minim, sehingga posisi Apache peluncur tetap terlindungi.
0 Comments