Pertahanan negara seringkali diartikan sebagai segala usaha
untuk mempertahankan kedaulatan negara,keutuhan wilayah,dan keselamatan segenap
bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Dalam bahasa resmi negara dan undang-undang,dicantumkan
bahwa pertahanan negara dijalankan dalam sebuah sistem yang bersifat semesta:
melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional,
dipersiapkan secara dini, diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan
berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, menjaga keutuhan wilayah.
Jelas pula, seharusnya termasuk menjaga seluruh kekayaan negara demi kepentingan warga negaranya.
Jelas pula, seharusnya termasuk menjaga seluruh kekayaan negara demi kepentingan warga negaranya.
Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat besar. Jika
Jerman menetapkan diri sebagai “Jantung Tanah Eropa”, Indonesia dapat mengklaim
sebagai “Jantung Maritim Asia Tenggara”. Dengan lebar dari sisi Timur ke Barat
yang mencakup 13 persen dunia, memiliki 12 lautan: laut
Natuna,Jawa,Sulawesi,Flores, Banda,Aru,Arafuru, Maluku, Seram, Halmahera,Timor
dan Sawu berikut lengkap dengan sea lanes of communications (SLOC) yang
demikian strategis, telah menempatkan negeri ini dalam posisi geopolitik yang
sangat menawan dan suprastrategis.
Dalam perspektif geopolitik dan geostrategi, media laut
menjadi sangat vital untuk gelar kekuatan, pembangunan pangkalan militer, jalur
kapal selam, dan kapal perang serta arena perebutan pengaruh kepentingan
politik, pertahanan maupun ekonomi. Utamanya pada 8 tahun dan 30 tahun ke depan
(tahun 2020 dan 2050) dampak menawannya posisi geopolitik ini akan menempatkan
kita pada posisi ancaman geostrategi yang lebih krusial dibanding saat para
pengelana kolonial memasuki perairan wilayah kita demi rempah-rempah dulu
kala—dengan berpacunya negara super power (AS) dan negara negara kawasan menyikapi
Two Ocean Policy dari China.
Nun jauh sebelum NKRI berdiri, para pemimpin Kerajaan
Sriwijaya di abad ke-7 hingga ke-13 serta Kerajaan Majapahit di ujung abad
ke-12 hingga ke-15 telah membuktikan kemampuannya dalam menggunakan wilayah
strategis perairan Indonesia dari sisi geopolitik dan geostrategi. ”Kesultanan”
kecil seperti Kudus dapat begitu tegasnya memerintahkan ”juru bayarnya”
(Kementerian Keuangan dalam konteks Indonesia hari ini) untuk membangun armada
laut sangat besar dengan 375 kapal kapal perang raksasa kelas “Jung Jawa”dalam
kurun waktu 1 tahun saja, mempersenjatai dan mengerahkan armada kesultanannya
(1.000 personel setiap kapalnya).
Seorang Tom Pires bahkan menuliskan dalam Summa Oriental,
1515, bahwa Anunciada (kapal Portugis terbesar di Malaka tahun 1511) sama
sekali tidak menyerupai kapal bila disandingkan dengan Jung Jawa! Kesemua ini
dilakukan hanya karena mendengar masukan intelijen bahwa bangsa Portugis
memasuki Selat Malaka.
*** Ini merupakan bukti bahwa kita pernah memiliki pemimpin-
pemimpin yang mampu melihat ”kepentingan warganya” dengan mampu menghitung
secara cermat akan untung rugi biaya bagi pembangunan kekuatan pertahanan untuk
melakukan fungsi kemaritiman dari armada laut yang harus dibangunnya ver-sus
biaya yang akan berdampak pada kesultanan dan masyarakatnya jika ia tidak
membangun armada laut yang mumpuni untuk melakukan fungsi kemaritiman dan
ekonomi yang harus dijaga nun jauh hingga ke Selat Malaka.
Ratu Kalinyamat pada 1550 mengirim 4.000 tentara Jepara
dalam 40 buah kapal, memenuhi permintaan Sultan Johor untuk membebaskan Malaka
dari bangsa Eropa.Armada Jepara ini kemudian bergabung dengan armada pasukan
Persekutuan Melayu hingga mencapai 200 kapal perang.Pasukan gabungan tersebut
menyerang dari utara dan berhasil merebut sebagian Malaka.
Cerita tentang Ratu Kalinyamat memang tidak berakhir dengan
digelari duchesse atau lord dari Kerajaan Inggris Raya, tetapi namanya ditulis
dalam sejarah Portugis dengan julukan yang menggetarkan hati: Rainha de
Jepara,Senora Pade Rosa se Rica” (Ratu Jepara yang penuh kekuatan dan
kekuasaan). Hari ini kemampuan armada laut kita sangat jauh dari apa yang
seharusnya kita miliki.
Jika kita lihat Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan dan
dibandingk a n apple to apple dengan Kudus atau Jepara masa itu.Mungkin dengan
memiliki pemimpin sekaliber Pati Unus atau Ratu Kalinyamat yang memiliki visi
geopolitik dan geostrategi yang mumpuni,di hari armada 2012 ini kita seharusnya
sudah mampu mengadakan kekuatan armada laut hingga mencapai kekuatan ideal ala
Pati Unus, yaitu sebanyak 149.260 kapal (375 kapal x 398 kabupaten/ kota sesuai
otonomi daerah) dengan kekuatan AL sebesar 149.260.000 personel.
Artinya, dengan jumlah personel AL sebesar itu tanpa UU
Kamnas sekalipun terbukti hampir setengah dari bangsa Indonesia akan otomatis
berwawasan dan berkelakuan peduli bahari. Atau setidaknya, jika kita memiliki
pemimpin yang berpandangan akan terbentuknya kerja sama pertahanan laut dengan
negara kawasan dan cukup mampu berfikir seperti seorang Ratu Kalinyamat
(minimum essential forces era abad ke-15), maka kita hanya memerlukan 15.000
kapal berikut 15.000.000 personel AL-nya.
Samuel Huntington dengan jelas menyatakan bahwa negara yang
dapat menyeimbangkan kekuatan China di kawasan hanyalah Indonesia dan
Vietnam.Menurutnya, identitas kultural Indonesia yang pernah berdiri sebagai
sebuah independent maritime empire dan kultur budaya Vietnam yang telah
terbukti selama 5000 tahun unggul dari China, menjadikan kedua negara ini
bersama India da Jepang dapat memainkan peran penting dalam keseimbangan
regional.
Di Hari Armada 5 Desember 2012 ini,selayaknya kita semua
merenungkan apakah kita sudah sepakat untuk menetapkan kekuatan armada AL kita
sesuai komitmen yang diperintahkan negara kepada para Laksamana,perwira dan
personelnya, di mana sebagai professional navy mereka harus memiliki kemampuan
dari sea denial of local waterske kemampuan sea control of a distant seas.
Tugas utama dari pro-fes-sional navysesungguhnya adalah tugas pertahanan di
samping tugas bantuannya dalam menanggulangi non traditional threats bangsanya.
Untuk membangunnya sebagai professional navy,maka negara
harus memenuhi ketersediaan dan kesiapan alutsista dan teknologi peperangan,
pendidikan dan rekrutmen prajurit, peningkatan jumlah dan modernisasi peralatan
alutsista, kesiapan operasional,peningkatan fasilitas pangkalan militer,
perawatan dan perbaikan, serta terwujudnya susunan kekuatan yang mampu
melaksanakan proyeksi kekuatan bersifat tempur yang bukan saja mencakup ke mana
dan untuk apa kekuatan armada maritim tersebut digelar, tetapi juga mencakup
berapa lama gelar tersebut dapat dilaksanakan.
Hari ini kemampuan armada kita di laut hanya 5–10 hari dalam
setiap 30 hari/bulan.Artinya ada sekitar 20 sampai 25 hari armada kekuatan
maritim kita hanya sandar di pelabuhhan dikarenakan masalah pengadaan bahan
bakar yang tidak mencukupi (dipenuhi hanya sekitar 35 hingga 40% dari yang
diajukan) untuk mereka dapat melakukan tugasnya baik di gugus tugas Armada
Barat maupun di Armada Timur.
*** Maka pertanyaannya,di era high-tech komunikasi dan
banyaknya para pemimpin bergelar beragam doktor saat ini,lalu apa yang berjalan
salah dari cara kita mengelola critical mass (wilayah,sumber daya dan penduduk)
negeri ini? Sehingga posisi geopolitik dan kekayaan sumber daya yang kita
miliki tidak mampu membangkitkan kita menjadi negara yang berkemampuan untuk
menggelar armada armada laut yang diperlukannya,
untuk kemudian menjadikan negeri ini negeri berkekuatan
supra-raksasa seperti era Sriwijaya dan Majapahit atau berkemampuan maritim
seperti Kesultanan Kudus dan Jepara sekalipun? Apakah itu terletak pada
kesalahan kita sebagai warga negara yang begitu permisif pada kelalaian para
pemimpin tingkat pusat dan lokal dalam konsep pandangan dunia dan perspektif
geostrategi yang merupakan cara pandang dan memahami dunia dan perubahannya?
Pada pemahaman tentang ancaman dan bagaimana kita
mengonseptualisasikan isu pertahanan & keamanan itu sendiri? Atau pada
strategi keamanan nasional (kamnas) dengan kemampuan mengidentifikasi perubahan
untuk merumuskan struktur kekinian akan armada laut dan dirgantara yang
seharusnya terbentuk untuk menjaga 3,2 juta km2 wilayah maritim dan 5.7 jta km2
dirgantara kita?
Dianugerahi letak suprastrategis seperti ini, pepatah latin
mengatakan Animis Opibusque Parati – persiapkan segenap pikiran,upaya dan
sumber daya untuk menghadapi kemungkinan apa pun.Semoga jawaban pertanyaan di
atas tidak terletak pada kedua belas lautan yang kita miliki dan hanya kita
banggakan,tanpa kesadaran dan berkemampuan untuk melindungi, menjaga dan
memanfaatkannya, sebagaimana nenek moyang kita di abadabad silam melakukannya.
0 Comments